Bits of me here and there.

Saturday, 15 September 2018

Manchester Chronicles: The University

Susah banget ya ngepost secara konsisten tuh.
Dari kemaren gue selalu kepengen ngepost lagi, tapi kayak, ini mau cerita apa? I start to get my shit together again, dan gue kayak baru sadar, the moment I could talk freely di blog itu ketika hidup gue lagi amburadul. Lol. Apakah memang penyaluran stres gue harus lewat tulisan, entahlah.
But yeah, ini blog ga bisa dibiarin berdebu (kayak tahun 2013 - yang sampe ga ada post sama sekali), dan dari kemarin gue udah kepikiran buat mulai reminiscing kehidupan gue di Manchester, hence the name Manchester Chronicles (padahal mah ya chronicles macam apa coba, itu kota isinya itu itu aja).

Jadi, gue kuliah di The University of Manchester. Bukan MMU, apalagi University of Salford. Itu udah di kecamatan sebelah. Ya siapa tau ada calon mahasiswa mau baca baca, karena jujur aja kemaren pas mau pergi susah banget nyari blog orang tentang hidup di Manchester. Ya siapa tau bisa menjadi penolong juga.
So, the university. Kalo kalian cuma liat mapnya, mungkin bakal bingung. Ini kampus gimana sih... Kenapa amburadul kieu dimana mana tempatnya... Aing teh bakal kuliah dimana... Ya sama, itu juga pikiran gue. Karena literally jalan utama di kota ini hampir diisi sama kampus. Kadang gue suka bilang gini, Manchester itu isinya cuma 2, kampus dan city center. Melebar ke pinggir-pinggir baru rumah rumah orang.


Ini namanya University Place. Tempat beli kaos, jaket, dan printilan souvenir universitas. Tempat kuliah juga. Tempat ngambil toga wisuda juga. Salah satu tempat janjian paling enak karena deket setopan bus dan di dalemnya banyak kursi dan anget. La haula ga penting banget ini informasi. Meskipun ada tulisan University of Manchester-nya, tapi ga bisa dipake foto karena aslinya susah banget fotonya. Bisa sih kali ya kalo ngambilnya dari sebrang jalan tapi ya isinya muka doang. Kadang disebut "the Tin" sama orang sana, gara-gara bentuknya kayak kaleng.


Ini namanya..... yallahi namanya apa ya gue lupa. Pokoknya tempat foto sejuta umat. Sedikit dari bagian kampus yang masih kerasa "tua"-nya. Tapi ga terlalu berguna buat kehidupan perkuliahan, karena ga ada kelas-kelasnya. Wisuda disini. Btw ruang wisudanya kecil banget buset, gue pertama kali masuk bingung sendiri gimana caranya wisuda. Ternyata wisudanya ada 20 sesi *ngelap keringet*. Biasanya spot ini akan ramai ketika penerimaan mahasiswa baru dan wisudaan. Diluar waktu itu, kalo foto disini, biasanya dikirain turis.


Salah satu gedung paling ciamik di kampus, selain gedung sebelumnya. Tulisannya aja Faculty of Arts, tapi gue yang anak sosial juga bisa ada kuliah disini kok kadang kadang. Dari luar ciamik, ternyata di dalemnya sama aja bentuknya. Kelasnya tetep berbentuk kotak-kotak, kursinya juga normal, bukannya yang ala ala Hogwarts gitu.


Of courssseee the one and only Alan Gilbert Learning Commons a.k.a Algil (that's how we Indonesians call it), meskipun alhamdulillah gue ga pernah perlu ngerasain nginep disini. Tapi sungguh memang nyari motivasi buat nyelesaiin essay tuh harus kesini karena dikelilingi anak anak ambis yang bikin jam 9 pagi aja udah susah nyari komputer kosong, syukur-syukur masih ada pojokan kosong. Tapi di bulan-bulan terakhir lebih luv Joule Library.


Ternyata cuma 4 gedung ini yang pernah w fotoin, tapi sungguh banyak gedung-gedung di kampus yang bikin susah move on. Kangen Manchester.......

Sunday, 29 July 2018

Votofolio: Rera & Tito Engagement










Captured by yours truly.
Sunday, 8 July 2018

Some Days


Some days, the clouds are too black.
The silver linings are invisible.
All you can do is navigating the way out of the clouds.
Some days, it is not enough, but it is all you can do.

Some days, the rain doesn't stop falling.
The sun is hiding, leaving the grey clouds covering your day.
All you can do is trying to keep everything dry.
Some days, it is not enough, but you are not given any options.

Some days, you don't feel okay, at all.
Everything seems a bit worse, a bit harsher, a bit cruel.
All you can do is trying to get through the day.
Some days, it is not enough, but at least you survive.
Friday, 11 May 2018

Three Ways for Love to Come


Love does not always come as love only, I think.
Well, most of the times, love comes knocking as butterfly in the stomach.
Or, love comes as the pink blushes in your cheeks.
Or, love comes as the bright shine in your eyes, and the laughter from your mouth.
Love comes as the sweet narratives in your favorite fairytales book, hoping to find that someday.

But, sometimes,
Love comes as confusion in your brain.
Love comes destructing your perfect planned life unexpectedly.
Love comes recklessly, uninvited, and change you forever.
Love comes as denial you try to put aside.
Love comes as fight and war you have no choice to battle, with no assurance of winning.
And sometimes you lose.

On the other times,
well, this is my favorite part,
Love comes as calmness in the ocean at night, creating slow waves that lull your boat.
Love comes as warm blankets while rain is pouring down outside the window.
Love comes as autumn leaves and spring petals, turning into something beautiful, slowly, without strong winds in the winter, or radiating heat in the summer.
Love comes as a cup of tea in your morning, with perfect temperature with two croissants, knowing you would not mind having that for the rest of your life.
Sometimes, love does not come to you, love is there when you are ready.

Thursday, 12 April 2018

Weekly Memento: Ikhtiar dan Tawakal



Pernah ga sih, lo panik, karena tau lo kurang berusaha tapi juga tau udah ga bisa ngapa-ngapain lagi?

Kalo pernah, ya alhamdulillah sama, gue juga sering malah. Lol.
Ada masa-masa dimana gue panik setengah mati, bukan takut karena gue ga akan mendapat kesempatan, tapi takut karena gue sadar, gue belom berusaha sekeras itu. Ada masa-masa di mana gue panik yang berhubungan dengan kerjaan, karena gue tau gue masih bisa melakukan lebih, kalo aja keadaannya berbeda. Tapi kadang, gue ga bisa melawan keadaan. Because that's how it's supposed to be. Itu ada konsekuensi dari pilihan yang gue ambil sebelumnya.
Sebagai sarjana yang cakap, berwawasan... ngga deng itu mah jargon Teknik Industri ITB. Sebagai fresh graduate, pasti tau lah ya paniknya nyari kerja kayak gimana. Semangat menggebu-gebu di awal, mulai panik di tengah-tengah. Ternyata nyari kerja susah komandan. Kebetulan ini pengalaman pertama gue nyari kerja, karena kemarin abis lulus S1 gue ga langsung nyari kerja dan satu dan lain hal, jadilah gue juga ga pernah merasakan diwawancara.
Balik ke Jakarta, gue tau gue harus fokus nyari kerja. I have no time to spare anymore, and I have no space to run to anyway. This is life now. Ini yang harus gue hadapin ke depannya, dan sungguh, emang ya makin kesini tuh hidup makin ribet aja. Makin banyak pilihan yang harus lo ambil. Makin banyak konsekuensi yang harus lo hadapin.
Tapi di satu sisi juga, gue kayak diingetin, everything happened for a reason.
Beneran deh. Kesini-kesini, gue kayak amazed sendiri hidup gue ada di titik ini, setelah mengingat whirlwind yang terjadi setahun belakangan, dan gue sadar, ya semua itu emang untuk menyiapkan gue untuk sampai di titik seperti ini. Hal yang gue kutuk-kutuk kemarin, somehow, adalah sesuatu yang bikin mungkin semuanya terjadi. Funny, isn't it? Of course, gue percaya kalo misalnya semua yang kemaren itu ga terjadi, ya mungkin hidup gue juga udah diarahkan kemana yang insya Allah sama baiknya, tapi ya itu, funny that I feel so content with my life now. Not that content, but it's just finally everything slowly falls into its place now.
Dan yang juga mengingatkan lagi, Allah itu baik banget ya masya Allah bingung deh.
Pernah ga sih, lo sampe malu berdoa minta sesuatu karena lo sendiri juga ga melakukan apa-apa supaya keinginan lo tercapai? Gue sering juga. Wkwkwk. Abis ya masa cuma modal doa doang, usaha nggak. Gue mah malu duluan, mending nggak usah minta. Hahaha. Tapi the moment lo mulai berusaha semaksimal mungkin, and when you know you've done your best, there's nothing you can do anymore selain minta dibantu sama Yang Di Atas. Kalo kata pacar gue, itulah space space untuk meletakkan pengharapan ketika usaha lo emang udah selesai (but anyway gue ga yakin dia beneran ngomong gini, entar gue baca lagi deh chatnya, tapi kayaknya sih bener ya ada kata spacenya).

Anyway, gue masih merasa lost, masih merasa banyak di rencana dan hidup gue yang masih ga jelas, tapi ya itu, do something about it until you can't do anything anymore, and leave it to universe to help you. Just, everything happened for a reason. Sometimes you may get disappointed, but remember, not everything you want is good for you. Or in short, Al-Baqarah 216 :)
Until later!
Saturday, 31 March 2018

Votofolio: Vina & Adit Wedding










Captured by yours truly.
Thursday, 15 February 2018

Not Too Much, Just Enough



I love you, not too much, just enough.

I love you,
not too much as the sea streams pulling the reefs apart,
just enough like the midnight waves hitting the sea shore tranquilly.

I love you,
not too much as the storm raging on the sky and the rain pouring hard to the ground,
just enough like the autumn wind blowing softy and the spring breezes introducing itself to the flowers.

I love you, not too much, just enough.

I love you,
not too much to let me give everything up for your sake,
just enough to let me do my best for everything.

I love you,
not too much to yield my sanity,
just enough to experience feelings that I no longer believe were real.

I love you,
not too much to suffocate me,
just enough to breathe the fresh air, again and again.

I love you,
not too much to let me lose myself,
just enough to be the best of me.

I love you,
not too much to kill me,
just enough to keep me alive.

I love you, not too much, just enough.



Happy Valentine's Day, love.


(inspired by Queen's "Too Much Love Will Kill You")


Sunday, 4 February 2018

Sekelumit Cerita Tentang Papua

Hai, gue serius dikit ya nulisnya hari ini.

Tapi ini bukan tulisan serius-serius amat, gue bukan pengkaji suatu isu (biasanya kalo kajian sih jarang ikut), gue juga lagi jarang banget baca berita, intinya gue cuma tau kulit-kulitnya aja. Gue cuma numpang lahir di Papua. Dan tinggal 10 tahun disana. Gue lahir tahun 1994 di Jayapura, dan tinggal disana sampe tahun 2005 (minus setahun gue tinggal di Sukabumi). Mungkin keadaan sekarang udah gak relevan sama pengalaman gue waktu hidup disana, but let me tell you few things.

"Ngapain sih Jokowi bangun infrastruktur di Papua? Emang Papua butuh infrastruktur?"
Gue lupa dimana cuitan ini gue baca, tapi yang nulis ini rasanya pengen gue jejelin cabe. Eh gantungan konci, emangnya lo tau infrastruktur di Papua kayak apa hah? Emang lo tau Papua butuhnya apa? Lo tau gak rasanya semen satu sak harganya lima-fuckin-ratus-ribu, karena apa? Karena stoknya tipis! Kenapa tipis? Ya susah ngangkutnya komandan! Nggak ada jalanan! Lo kira itu kontur Papua mulus mulus aja kayak pulau Jawa?
Gue inget cerita seorang temen gue, yang waktu lagi nyeritain pengalamannya tinggal di Timika ke temennya, tentang ga ada hiburan di Timika, terus temennya ini dengan polosnya bilang, "Kenapa ga jalan-jalan ke Jayapura aja? Bukannya deket?"
Ya.
First of all, seperti inilah penampakan bentuk geografis Papua:

(foto diambil dari sini)

Deket sih iya deket, tapi mau naik apaan? Awan kinton??? Lo kira ada jalanan dari Timika ke Jayapura yang bisa ditembus naik mobil? Ya kalo ada mah ngga ada itu kejadian gizi buruk Asmat ya komandan *sigh*. Dengan kondisi yang seperti itu, sungguh, kita semua masyarakat Papua udah ngerti banget sama yang namanya malaria. Atau penyakit-penyakit aneh dari alam. Lha ya wong gimana kondisinya masih sebelas dua belas sama hutan Amazon kayaknya. Gue aja yang tinggal di ibukota masih berasa hidup di tengah hutan, apalagi yang di daerah-daerah sana. Bahkan banyak banget daerah di Papua yang cuma bisa dicapai pake pesawat, yang landasannya aja aspal bolong-bolong. Sungguh gue ga pernah bisa lupa ketakutan gue naik pesawat ke Wamena yang lantainya aja kayu, di depannya ada kandang ayam. KANDANG AYAM. Gue se-pesawat sama ayam. Sungguh sebuah pengalaman hidup.

Speaking of gizi Asmat, pasti bakal langsung inget kejadian baru-baru ini, ketua BEM UI ngasih kartu kuning ke Jokowi, yang mana sungguh gue ga ngerti kenapa harus kartu kuning. Luar biasa. Kartu kuning. Gue tau abis ada transfer besar-besaran beberapa hari sebelumnya (apakah sang ketua ini fans Arsenal yang ga rela Giroud pindah ke Chelsea?), tapi sungguh pemilihan metode yang sangat menarik. Tweet ini cukup mewakili reaksi gue terhadap aksi tersebut:
Gue harus sepakat sih, karena gue inget isu ini udah lama dibahas. Kompas udah naro ini di headlinenya sejak heboh heboh isu pilkada pulau Jawa, yang berarti udah berminggu-minggu yang lalu. Baru dibahas sekarang karena apa? Karena aksi mahasiswa itu. Lah telat komandan, setau gue kasusnya juga udah beres???
Sebelom gue lanjutkan, untuk menanggapi kata-kata mbaknya diatas, gue bukan fangirl Jokowi. Tapi sungguh, menurut gue ya, menurut gue, ini pertama kalinya Papua diperhatikan seperti ini. Trans Papua lah, BBM satu harga lah. Gue hidup di Papua di masa ketika lo tinggal di Jayapura, lo bisa kehabisan bensin. Pom bensin udah tutup jam 2 siang, kenapa? Karena kehabisan bensin. Ke-ha-bi-san. Lo bayangin ini terjadi di pulau Jawa, langsung dibakar kali itu pom bensin. Ga akan meledak, karena toh bensinnya ga ada. Jadi ketika mbaknya menegaskan bahwa itu kewajiban Presiden, ya emang mbak. Si bapaknya tau. Makanya itu dibangun Trans Papua. Cuma ya toh sabar ya??? We went from zero to have massive development in Papua like right now. Itu udah upaya yang luar biasa loh, tapi ini pada sadar ga sih Papua segede-gede acan, yang sebelomnya ga pernah tersentuh sama sekali, sekarang dibangun besar-besaran? Cuy, gue nonton video ini aja langsung berkaca-kaca ya. 
However, ya secara general, emang salah sih, kenapa bisa sampe gizi buruk kayak gitu? Pemerintah kemana aja? But, it's just..... Gue gatau ya, gue sendiri waktu tinggal disana, kayak udah merasa pasrah dan wajar aja gitu loh kalo kita ga diperhatikan sama pemerintah (ya gimana pak bu, bensin aja abis, mati lampu tiap hari, jalanan keluar dari kotamadya udah ga beraspal), it's just we are so used to the treatment. Dan itu juga yang bikin pemerintah jadi tidak acuh (ya kayak pacaran lah, suka dibilang ga peka, kalo ga dibilang, dikirain ga ada apa apa) dan merasa ga ada apa apa. Mungkin ya, mungkin. Ditambah memang dari awal juga udah ga perhatian, dan kesadaran masyarakat juga kurang, yaaa gue rasa akar masalahnya emang sudah terlalu mendalam, bukan cuma sebatas upaya pemerintah yang dirasa kurang. Buat gue, itu ada campuran dari mental pemerintah yang menomor-entah berapa-kan Papua, dan mental masyarakat Papua sendiri yang sudah terbiasa di-anaktiri-kan sama pemerintah.
Artikel ini juga (yang sedikit lebih serius dari tulisan gue ini) juga menarik menjelaskan salah satu fenomena yang dialami orang Papua. Ini subjektif parah sih, tapi kalo kalian ketemu orang Papua yang well, sesuai dengan stereotip orang Papua pada umumnya - hitam dan keriting, yang kalian pikirin apa? :) Gue pernah ngalamin sendiri, waktu gue pindah keluar Papua untuk pertama kalinya, gue dicurigain malsuin nilai ujian gue supaya bisa masuk ke sekolah favorit di kota itu. Padahal gue aja tidak hitam dan keriting! Karena apa? Ya karena mereka ga percaya nilai gue bisa setinggi itu tanpa dipalsuin, yang berarti apa coba? Kitong orang Papua ini tra bisa dapat nilai bagus karena tra pernah belajar ka atau dong macam tra percaya tong masih bisa hitung-hitungan? Anak kecil aja udah di-rasis-in? Hahahaha. Coba kalo gue dari Jakarta, ga bakal sih gue digituin, yakin. Ya tapi on a serious note, gue tau banyak stigma-stigma negatif terhadap orang Papua yang jadi pelajar rantau, yang dianggap suka membuat keributan, dan segala macam stigma aneh lainnya. Gue sendiri ngerasain kok di-stereotip-in "tidak pintar" cuma karena gue dari Papua. Terus gimana caranya mau menghapus kesenjangan sosial kalo sesama rakyat sendiri masih di-stereotip-in kayak gitu? He he. Terus karena stereotip kayak gitu, akhirnya diperlakukan tidak adil di kehidupan bermasyarakat. Heuuu kalian teh hoyongnya naon ai jelemaaaaa~~~ Teriak-teriak keadilan sosial tapi sendirinya masih suka bikin asumsi dan persepsi. Iya gue tau ga semua orang kayak gitu, tapi ya coba tanya ke diri masing-masing aja kalo kalian beneran bersinggungan sama orang Papua, yang mungkin ga se-beruntung kita, yang udah syukur bisa keluar dari Papua untuk mengenyam pendidikan, bisa gak kalian berteman tanpa ada spekulasi yang mendasari? Iya gue tau banget ini subjektif. Tapi sebagai yang pernah jadi korban rasis, maafin ya hahaha. Yang ini sebenernya bukan hasil pikiran gue, tapi temen gue, tapi bahkan di Jayapura pun, banyak banget markas TNI. Kayak mau ngejagain gitu. Buat apa sih? :) Ya gue sih gatau buat apa hahaha, cuma kok kayaknya penuh prasangka sekali ya, kayak orang ga percayaan sama pacarnya seakan-akan bakal ada keributan tiap saat gitu. Cuma ya yaudah gue ga akan bahas lebih lanjut karena gue sendiri bahkan ga sadar hal itu waktu itu (ya gimana masih kecil). Tapi ya itu salah satu contoh kecil nyata tentang relasi pemerintah dan masyarakat di Papua, dan relasi antar masyarakat antara Papua dengan daerah lain, menurut gue.
Gue sadar, Papua ini adalah tujuan yang sangat menarik untuk sasaran community development dan community service para NGO yang bertujuan meningkatkan taraf hidup papua. Tapi masalahnya selalu kebentur satu, sustainabillity-nya. Karena ya NGO-NGO itu masuk ke Papua, yang berarti bukan orang asli Papua. Mereka ga bisa selamanya hidup di Papua menjalankan itu. Tapi kenapa susah banget sih? Gue denger pengalaman dari orang-orang yang pernah ke Papua untuk comdev, ya pada akhirnya amat sangat sedikit orang Papua asli yang mau melanjutkan program tersebut, sehingga mengecilkan kemungkinan untuk program tersebut berjalan mandiri. Bukannya ga nyari sumpah, tapi kalo menurut mereka semua, sedikit banget peminatnya. Kenapa? Kalo menurut gue ya, kalo gue analogikan pake piramida Maslow, individu-individu yang memutuskan untuk datang ke Papua dan 'berbakti' ini, adalah mereka yang sedang melakukan aktualisasi diri. I mean, lo datang ke Papua bukan untuk pemenuhan sandang pangan papan, apalagi safety ya. Lo dateng ke Papua ya karena ingin membantu, yang gue golongkan sebagai aktualisasi diri. Sementara masyarakat asli Papua, jangankan aktualisasi diri ya, gue rasa pun bisa memenuhi piramida Maslow sampe tingkat 3 aja udah syukur. They don't have the privilege to do the self actualization when they could barely survive. Jadi ya, menurut gue itu salah satu halangan dalam mengembangkan Papua, aside from isolated location dan minimal access, yang sekarang lagi di-tackle sama pemerintah.
Terus gimana dong? Ya jujur gue sendiri juga ga punya ide karena sungguh, masalahnya juga amat sangat mendalam dan udah berakar, yang gue tau juga pasti perlu waktu lama untuk bisa mengembangkan Papua secara menyeluruh. Gue sering ngobrolin masalah Papua sama temen gue yang dulu pernah tinggal di Papua juga, dan well, Papua emang segede itu. Segede itu. Lah pembangunan di pulau Jawa aja belom merata ya, let alone di Papua. So yeah, kalo gue boleh saran, kalo mau ngomongin Papua, coba point of viewnya agak dikembangkan, asumsi-asumsinya diubah, jangan anggap Papua sama kayak daerah lain. Udah dari situ aja dulu, ga usah nyampe jauh jauh mikirin solusi. Coba pahami aja dulu keadaannya gimana, bahwa kehidupan adat disana masih sangat kental, mentalitas yang biasa di-anaktirikan, lingkungan yang ga pernah kondusif, baru mungkin lo bisa sedikit paham, kenapa OPM masih ada.

Yah, sekian yang masih bisa gue ambil dari ingetan gue selama tinggal disana. Tapi ya untuk diinget, gue cabut dari sana tahun 2005, yang mana pasti sekarang udah beda banget sama waktu gue tinggal disana. Dan gue sama sekali ga menggunakan sumber empiris apapun dalam nulis ini, ini pure opini dari hasil yang gue baca dan ngobrol-ngobrol. Jadi kalo ada yang mau ngoreksi tentang sesuatu yang gue tulis ini, feel free! Tulisan ini ga bermaksud mendiskreditkan pihak manapun, jadi silahkan dibenarkan kalo kalian merasa ada yang salah. Cheers!


Friday, 19 January 2018

Battling the Fear



I never knew, until this point, but I just realised moving on was never about the person.
It was the fear.
It was about battling the insecurities, on why people stay, when they have hundred reasons to leave.
It was about trying to put another trust again, on another human being, wishing they would be different.
Are they?
I don't know, though.
It was never about the person.
It was the fear.
It was about fighting for your own values, remembering that I'm so much more worth to be treated equally, and deserved to be myself.
It was about trying to put a foot in front of another, trying to make baby steps, on believing again.
Am I?
I don't know, though.
It was never about the person.
It was the fear.
It was about crawling from the serenity from being alone, hoping nobody could hurt you anymore, cause you did not give any reason to.
It was about trying to put some hopes again, wishing life would be favor me this time, and you were the one.
Are you?
I don't know, though.
You did not make it seem easy, no.
But you made me want to try again.
Tuesday, 2 January 2018

Kaleidoskop 2017


2017, honestly, really is something else.
This year, I lived recklessly.
This year, I learned how stand on my own feet, bravely.
This year, I let go.
This year, I hurt irresponsibly.
This year, I loved dangerously.
This year, I built wall, to be torn down, and built a new one even higher.
This year, I accepted love and help from my support system.
This year, I slipped away from the path I've been crafting since the beginning.
This year, I failed my people.
This year, I understood everything happened for a reason.
This year, I acknowledged pain.
This year, I endured loses.
This year, I welcomed new things, and big changes.
This year, I fought demons in my head.
This year, I searched for happiness.
This year, I walked longest I've ever been.
This year, I saw the beauty in this world.
This year, I flew across the continents.

This year, I fell down.
This year, I stood up.
This year, I found myself again.

Thank you, 2017.